BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan pemikiran dewasa
ini terjadi pergolakan yang menjadikan manusia memikirkan bagaimana asal dari
berbagai pemikiran yang bisa mengubah paradigma seseorang. Dalam dunia ilmu pengetahuan yang
tidak mengalami pergeseran nilai adalah filsafat dari pemikiran sebelum
socrates sampai filsafat dewasa ini muncul berbagai aliran yang memberikan
definisi tentang kehidupan. Diantara aliran besar abad 19 adalah Pragmatisme.
Kiranya mempelajari aliran tidak hanya
bisa dilihat dari satu sudut pandang masih ada banyak corak-corak yang
dikembangkan oleh generasi yang selanjutnya namun semuanya tidak akan lepas
dari dasar filsafatnya itu sendiri. Perkembangan aliran filsafat memungkinkan
orang membuat sebuah sekte yang di dalamnya mengandung agama ataupun malah
meniadakan agama sama sekali disini menarik untuk diulas lebih dalam.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang
menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata,
Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang
praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme
yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Oleh sebab itulah, penulis membuat makalah ini agar pemahaman mengenai aliran
filsafat yang disebut pragmatisme ini bisa lebih dipahami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
ada beberapa rumusan maslah yang dapat dirumuskan dalam pembuatan makalah ini,
diantaranya:
1.
Bagaimana pengertian filsafat secara
umum?
2.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan
pragmatisme?
3.
Siapa-siapa saja tokoh yang
berperan dalam perkembangan aliran prgamatisme ini?
4.
Bagaimanakah pengaruh aliran
pragmatism dalam dunia pendidikan?
5.
Apa saja kekeliruan yang terdapat
dalam aliran pragmatisme?
C. Tujuan
Berdasarkan
rumusan maslah di atas, maka terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam
pembuatan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk mengetahui pengertian
filsafat secara umum.
2.
Untuk memahami apakah sebenarnya
filsafat itu.
3.
Unutk mengetahui siapa saja tokoh
dibalik aliaran pragmatism ini.
4.
Untuk mengetahui pengaruh
pragmatism dalam dunia pendidikan.
5.
Yntuk memahami
kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam aliran pragmatisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Secara Umum
Filsafat
dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut
bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian
lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering
pula diartikan sebagai pandangan hidup. Dalam dunia pendidikan, filsafat
mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan
hidup ikut menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
Oleh
karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab,
pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai
filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang
lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya.
Dalam
pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri
adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap
masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas
pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang
filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara
filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus
menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan
hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam
masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi
dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang
menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara
terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh
keinsafan.
Ajaran
filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang
sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di
dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat
disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakangpribadi para ahli
tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran
filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu
sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari
sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran (sistem) suatu filsafat. Tetapi
karena cara dan dasar yang dijadikan criteria dalam menetapkan klasifikasi
tersebut berbeda-beda, maka klasifikasi tersebut berbeda-beda pula.
Seorang
ahli bernama Brubacher membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai:
pragmatis-naturalis; rekonstruksionisme; romantis naturalis; eksistensialisme;
idealisme; realisme; rasional humanisme; scholastic realisme; fasisme;
komunisme; dan demokrasi. Pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher
sangat teliti, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya overlapping dari masing-masing
aliran.
Sebagian
ahli mengklasifikasikan aliran filsafat pendidikan ke dalam tiga kategori.
Yaitu, kategori filsafat pendidikan akademik skolastik, kategori filsafat
religious theistic, dan kategori filsafat pendidikan social politik. Filsafat
pendidikan akademik skolastik meliputi dua kelompok yang tradisonal meliputi
aliran perenialisme, esensialisme, idealisme, dan realisme, dan progresif
meliputi progresivisme, rekonstruksionisme, dan eksistensialisme. Filsafat
religious theistik meliputi segala macam aliran agama yang paling tidak terdiri
dari empat besar agama di dunia ini, dengan segala variasi sekte-sekte agama
masing-masing. Sedangkan filsafat pendidikan social politik terdiri dari
humanisme, nasionalisme, sekulerisme, dan sosialisme.
Makalah
ini hanya membahas masalah aliran pragmatisme untuk memenuhi tugas dalam mata
kuliah Filsafat Ilmu. Makalah ini memaparkan aliran di atas dengan meninjau
dari segi pengertian idealisme dan secara filsafat; serta tokoh-tokoh yang
beraliran ini.
B.
Aliran
Pragmatisme
Istilah
Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan
(action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme
lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian
Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti
tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah”
atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar
apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau
berfungsi (if it works). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke
dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang
nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The
Meaning of The Truth (1909).
Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat
secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang
penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada
individu-individu.
Dasar dari
pragmatisme adalah logika pengamatan,
di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia
nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.
Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi
realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan
merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi
benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat
pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar
kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana
yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
Menurut teori klasik
tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori
koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat
dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris, sedangkan
teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau
kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama
lain. Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi
sebelumnya, yakni teori pragmatis. Teori pragmatis menyatakan bahwa 'apa yang
benar adalah apa yang berfungsi. Bayangkan sebuah mobil dengan
segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi
dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.
Arti umum
dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done.
Awalnya pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu
pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi
kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme
akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan
filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh
perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Dalam usahanya
untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan
berbagai filosofi tulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu
dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan
pendirian yang dianut masing-masing pihak.
Bagi kaum
pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide
atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan
tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode
bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu
yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia
mengambil keputusan yang berisi tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau
keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan
tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak
lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau
konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu.
Aliran ini
menekankan pada praktik dalam mengadakan pembuktian kebenaran dapat dilihat
dari tindakannya yang praktis atau dari segi kegunaan, berusaha menemukan
asal mula serta hakikat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat
menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa sulitnya. Misalnya,
menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapat
gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif atau kualitatif.
Sebaliknya
jika memberikan kemadhoratan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya
memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membahayakan dan
tidak dapat dikatakan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam mencapai
keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah .Pragmatisme dalam perkembangannya
mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama.
Dengan demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, menolak segala intelektualisme, absolutisme,
dan meremehkan logika formal.
C.
Tokoh-Tokoh Pragmatisme
Pragmatisme
mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof
Amerika yang yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat,
tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles,
Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran
pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang menpopulerkan dan
pandangannya :
Ø
C.S. Peirce (1839-1914)
Secara
umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa
suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut.
Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat.
Pragmatisme Peirce yang kemudian hari ia namakan pragmatisme lebih merupakan
suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran
(Theory of Truth). Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri
membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai berikut :
Pertama,
transcendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu
bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak
kebenaran suatu hal adalah pada "things as things ".
Kedua,
complex truth yang berarti kebenaran dari
pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal yaitu
kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis dilain pihak.
Ketiga,
yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh
penilik. Peirce menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan
pragmatisme Peirce merupakan suatu metode untuk memastikan arti ide-ide di
atas.
Ø William
James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr.
ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif.
Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang
tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta
mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya,
kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif
untyuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee
Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan
Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap
benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa
yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena
itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya,
dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus
yang setiap kali dapat diubah oleh poengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada
kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh
pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya,
jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup. Di
dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman
pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal
dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan
diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan.
Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis
yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu
yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan
terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang
relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani,
penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama
dan lain-lain.
Ø
John Dewey (1859-1952)
Kekhususan
filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip "naturalisme empiris atau empirisme
naturalis". Istilah "naturalisme" ia terangkan sebagai
pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa
dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk
merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang
memandang obyek.
Dewey
lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari
alam. Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara
rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan
tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai
berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia
mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan
berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam
lingkungan.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang
mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika
sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap
generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling
merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa
tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum
final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah
cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya
itu sendiri.
D. Filsafat Pragmatisme dalam
Pendidikan
Sejak dahulu
hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan
diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan
global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk
teori pragmatis dari aliran Filsapat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan
waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang
dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu
sendiri.
Seiring
dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi
pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai
puncak temuan. Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan
pragmatisme.
a. Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia
akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya,
dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan
pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap
dirinya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup
manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya.
Dalam perkembangan tersebut manusia
membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan
kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban
ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan
mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan
mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan
yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan
yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan
“man is the
meansure of
all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh
penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah
memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).
Inti
dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi
kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan
terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak,
lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan
semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam
diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten
yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Jadi, baik
anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya.
b. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan
pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan
kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu
berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki
arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri
untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap
lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran
tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri
serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang
bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh,
2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi
bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin
akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan
kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula
nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan
etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan
seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu.
Bertolak
dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam
kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula
disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi
sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa
mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Di
suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat
beraneka ragam warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi,
bahasa daerah, suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki
ciri-ciri tertentu serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai misal,
jika terdapat suku yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika memiliki
wilayah geografis yang sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka
berbeda, demikian seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu
kebijaksanaan pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut
pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak
ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah
tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil
tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan
menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk
bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat
untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak
mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.
Pendidikan
yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent,
melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan
sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya,
termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu,
seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan
situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan
persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam
pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak
boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu
kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan
pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak.
Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah
masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian
anak.
Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru
adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung
memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak
mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode
disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak
akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Bertolak
dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan
pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang
bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang
mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan
berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.
D. Kekeliruan Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan
dalam tiga tataran pemikiran yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut
a) Kritik
dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme
dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan
Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan
demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai
sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah
pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah
ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan
sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain
hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap
moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang
pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa
sepanjang Abad Pertengahan (abad V – XV M), yakni keharusan menundukkan segala
sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua,
adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al
Khaliq.
Jadi,
pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua
sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja
terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang
sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua
pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan.
Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia,
alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah
menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk
melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia
setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang
yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat
dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari
kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan. Adapun pendapat yang
mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada
ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak
menenteramkan jiwa.
Jadi,
berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara
pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan
tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah
ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai
keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi
dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i
(yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang
menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga
membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia
dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati
mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun
demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi
Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq
untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah
Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan
Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme
tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan
bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik
yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk
merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran
cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini
Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.
b) Kritik
dari segi metode pemikiran
Pragmatisme
yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath
Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang
pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu
sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan. Metode Ilmiyah adalah suatu
metode tertentu untuk melakukanpembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan
pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian
percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang,
metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat
nateri/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode
Ilmiyah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu
kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode
Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah
itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah. Metode Akliyah adalah
sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana
definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke
dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi
sebelumnya yang bermukim dalam otak.
Metode
Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau
dengan kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah.
Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir
halaman 32-33, ada dua point:
- Bahwa
untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti
dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini,
diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode
Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah.
- Bahwa
Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat
fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji
objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika,
dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek
material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat
dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode
Ilmiyah.
Atas dasar dua
argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang
menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan
Metode Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
c) Kritik
terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme
adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang
dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama,
Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide
itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu
dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar
yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis
suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan
penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka,
kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya
menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua,
Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide
adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran
kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran
kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas
intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata
lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang
dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga,
Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan
perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki
Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri–
setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat.
Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah
menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya
sendiri .
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan
hail diskusi yang telah dilakukan, kami dapat mengambil beberapa kesimpulan,
yaitu :
1) Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis.
2) Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah
William James dan John Dewey. Mereka berdualah yang paling bertanggung jawab
terhadap generasi Amerika sekarang, karena di Amerika Serikat pragmatisme
mendapat tempat tersendiri dengan melekatnya nama William James sebagai
tokohnya, disamping John Dewey.
3) Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme
juga memiliki kekeliruan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran
filsafat ini. Kekeliruan pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran
pemikiran, yaitu: kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, kritik dari
segi metode pemikiran, dan kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.
B. Saran
Berdasarkan beberapa pemaparan yang
telah disampaikan di atas, diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang
filsafat, terutama mengenai aliran pragmatisme. Sehingga, pembaca dapat
mengambil hal-hal posotif darinya.
No comments:
Post a Comment