Friday, November 23, 2012

Makalah tentang Aliran Pragmatisme



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dalam perkembangan pemikiran dewasa ini terjadi pergolakan yang menjadikan manusia memikirkan bagaimana asal dari berbagai pemikiran yang bisa mengubah paradigma seseorang. Dalam dunia ilmu pengetahuan yang tidak mengalami pergeseran nilai adalah filsafat dari pemikiran sebelum socrates sampai filsafat dewasa ini muncul berbagai aliran yang memberikan definisi tentang kehidupan. Diantara aliran besar abad 19 adalah Pragmatisme.
Kiranya mempelajari aliran tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang masih ada banyak corak-corak yang dikembangkan oleh generasi yang selanjutnya namun semuanya tidak akan lepas dari dasar filsafatnya itu sendiri. Perkembangan aliran filsafat memungkinkan orang membuat sebuah sekte yang di dalamnya mengandung agama ataupun malah meniadakan agama sama sekali disini menarik untuk diulas lebih dalam.
Sebagai acuan untuk mempelajari filsafat penulis membuat ringkasan tentang ajaran yang sampai sekarang masih dipergunakan di beberapa negara sebagai dasar pembentukan idiologi negara sebut saja pragmatisme yang dikembangkan di Cina, eksistensialisme dipergunakan di Amerika dan daerah lainnya.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme. Oleh sebab itulah, penulis membuat makalah ini agar pemahaman mengenai aliran filsafat yang disebut pragmatisme ini bisa lebih dipahami.   
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa rumusan maslah yang dapat dirumuskan dalam pembuatan makalah ini, diantaranya:
1.             Bagaimana pengertian filsafat secara umum?
2.             Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatisme?
3.             Siapa-siapa saja tokoh yang berperan dalam perkembangan aliran prgamatisme ini?
4.             Bagaimanakah pengaruh aliran pragmatism dalam dunia pendidikan?
5.             Apa saja kekeliruan yang terdapat dalam aliran pragmatisme?

C.   Tujuan
Berdasarkan rumusan maslah di atas, maka terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui pengertian filsafat secara umum.
2.      Untuk memahami apakah sebenarnya filsafat itu.
3.      Unutk mengetahui siapa saja tokoh dibalik aliaran pragmatism ini.
4.      Untuk mengetahui pengaruh pragmatism dalam dunia pendidikan.
5.      Yntuk memahami kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam aliran pragmatisme.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.   Filsafat Secara Umum
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup. Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup ikut menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya.
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran (sistem) suatu filsafat. Tetapi karena cara dan dasar yang dijadikan criteria dalam menetapkan klasifikasi tersebut berbeda-beda, maka klasifikasi tersebut berbeda-beda pula.
Seorang ahli bernama Brubacher membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai: pragmatis-naturalis; rekonstruksionisme; romantis naturalis; eksistensialisme; idealisme; realisme; rasional humanisme; scholastic realisme; fasisme; komunisme; dan demokrasi. Pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher sangat teliti, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya overlapping dari masing-masing aliran.
Sebagian ahli mengklasifikasikan aliran filsafat pendidikan ke dalam tiga kategori. Yaitu, kategori filsafat pendidikan akademik skolastik, kategori filsafat religious theistic, dan kategori filsafat pendidikan social politik. Filsafat pendidikan akademik skolastik meliputi dua kelompok yang tradisonal meliputi aliran perenialisme, esensialisme, idealisme, dan realisme, dan progresif meliputi progresivisme, rekonstruksionisme, dan eksistensialisme. Filsafat religious theistik meliputi segala macam aliran agama yang paling tidak terdiri dari empat besar agama di dunia ini, dengan segala variasi sekte-sekte agama masing-masing. Sedangkan filsafat pendidikan social politik terdiri dari humanisme, nasionalisme, sekulerisme, dan sosialisme.
Makalah ini hanya membahas masalah aliran pragmatisme untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Filsafat Ilmu. Makalah ini memaparkan aliran di atas dengan meninjau dari segi pengertian idealisme dan secara filsafat; serta tokoh-tokoh yang beraliran ini.

B.   Aliran Pragmatisme
Istilah Pragmatisme  berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris, sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain. Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori pragmatis. Teori pragmatis menyatakan bahwa 'apa yang benar adalah apa yang berfungsi. Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Awalnya pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi tulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak.
Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu.
Aliran ini menekankan pada praktik dalam mengadakan pembuktian kebenaran dapat dilihat dari tindakannya yang praktis atau dari segi kegunaan,  berusaha menemukan asal mula serta hakikat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa sulitnya.  Misalnya, menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapat gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif atau kualitatif.
Sebaliknya jika memberikan kemadhoratan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membahayakan dan tidak dapat dikatakan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam mencapai keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah .Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Dengan demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu,  menolak segala intelektualisme, absolutisme, dan meremehkan logika formal.
C. Tokoh-Tokoh Pragmatisme
Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang menpopulerkan dan pandangannya :
Ø C.S. Peirce (1839-1914)
Secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Pragmatisme Peirce yang kemudian hari ia namakan pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran (Theory of Truth). Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai berikut :
Pertama, transcendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada "things as things ".
Kedua, complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis dilain pihak.
Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik. Peirce menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan pragmatisme Peirce merupakan suatu metode untuk memastikan arti ide-ide di atas.

Ø William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh poengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup. Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan.
Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.

Ø John Dewey (1859-1952)
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip "naturalisme empiris atau empirisme naturalis". Istilah "naturalisme" ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek.
Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam. Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
D. Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme.
a.    Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya.
 Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Jadi, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya.
b.    Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Di suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat beraneka ragam warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi, bahasa daerah, suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki ciri-ciri tertentu serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai misal, jika terdapat suku yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika memiliki wilayah geografis yang sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka berbeda, demikian seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu kebijaksanaan pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak.
 Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.
D. Kekeliruan Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut
a)   Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V – XV M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi Al Khaliq atau pembahasan mengenai  peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.
b)   Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan. Metode Ilmiyah adalah suatu metode tertentu untuk melakukanpembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat nateri/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah. Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point:
  • Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah.
  • Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiyah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
c)    Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri–  setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri .





BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hail diskusi yang telah dilakukan, kami dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1)      Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
2)      Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Mereka berdualah yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang, karena di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan melekatnya nama William James sebagai tokohnya, disamping John Dewey.
3)      Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekeliruan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini. Kekeliruan pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran, yaitu: kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, kritik dari segi metode pemikiran, dan kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.

B. Saran
Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah disampaikan di atas, diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang filsafat, terutama mengenai aliran pragmatisme. Sehingga, pembaca dapat mengambil hal-hal posotif darinya.







No comments:

Post a Comment